IMBT VS MM

I.PENDAHULUAN
Rumah saat ini merupakan sebuah kebutuhan manusia sehingga permintaan dari tahun ke tahun pun akan terus mengalami peningkatan seiring dengan perubahan angka pertumbuhan penduduk di suatu negara atau daerah. Suatu daerah yang memiliki peningkatan jumlah penduduk signifikan akan berdampak kepada tingginya jumlah keluarga di masa yang akan datang, yang pada akhirnya permintaan akan rumah pun akan meningkat signifikan.
Dalam memenuhi kebutuhan akan rumah tersebut, tidak setiap orang dapat membeli rumah secara tunai sehingga terbitlah produk KPR dalam sistem keuangan konvensional yang diberikan oleh lembaga keuangan konvensional untuk mempermudah masayarakat dalam membeli rumah. Dalam Islam, pembiayaan rاumah pun menjadi prioritas dalam mewujudkan keadilan sehingga target pasarnya pun tidak hanya orang-orang yang memenuhi kriteria bank. Tidak hanya orang yang mampu saja yang berhak mendapatkan pinjaman, tetapi juga masyarakat yang tidak mampu pun berhak untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan.
Sebuah instrumen pembiayaan perumahan harus memenuhi akad atau kontrak yang diperbolehkan oleh aturan Syariah. Akad-akad tersebut adalah Ba’i Bithaman Ajil, Ijarah Muntahia Bittamlik, Istisna wal Istisna, dan akad Musyarakah Mutanaqisah. Keseluruhan akad tersebut tidak mengandung riba, maysir, dan dharar.
Pada saat pendapatan perkapita naik, maka harga rumah pun akan mengalami kenaikan. Keadaan ini terjadi dalam keadaan perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan. Namun, meski daya beli masyarakat tidak mengalami peningkatan yang signifikan, kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat masih tetap tinggi sehingga timbul ketergantungan bagi masyarakat akan sebuah instrumen keuangan yang membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Instrumen keuangan ini, saat ini dikenal dengan nama Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap KPR saat ini semakin meningkat. Dalam sistem keuangan konvensional saat ini, suku bunga kredit telah menjadi indikator terhadap pertumbuhan perumahan. Pada saat keadaan perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan positif, maka suku bunga kredit akan menurun. Hal ini dimanfaatkan oleh sektor perbankan untuk mengoptimalkan pengucuran dana kredit perumahan untuk memenuhi kebutuhan pembelian rumah. Maka pada saat perekonomian membaik, permintaan perumahan pun akan meningkat.
___________________________________________________________________________________
II. GAMBARAN UMUM PEMBIAYAAN PERUMAHAN SYARIAH
 Sesungguhnya.banyak ayat diturunkan oleh Allah SWT untuk segala urusan manusia di muka bumi. Penerapan aturan Islam secara lengkap dapat memberikan petunjuk bagi manusia untuk semua permasalahan yang terjadi. Dalam bidang ekonomi, Islam telah memberikan petunjuk bagi manusia dalam melakukan berbagai aktivitas yang terkait di dalam cakupan ekonomi. Islam telah memberikan arahan bahwa di dalam setiap aktivitas ekonomi, motivasi setiap individu tidak hanya motivasi untuk hal yang bersifat duniawi, tetapi juga motivasi yang didasari petunjuk Islam untuk urusan akhirat.Prinsip dasar ekonomi konvensional yang berkembang saat ini, motivasi utama individu dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah pemuasan kebutuhan materi yang sesungguhnya tidak terbatas. Banyak kegiatan ekonomi yang dilakukan hanya demi urusan keuntungan duniawi semata.

_____________________________________________________________________ III. PENERAPAN SKEMA PEMBIAYAAN PERUMAHAN SYARIAH
 III.1. Ijarah Muntahiah Biltamlik
 III.1.1 Definisi
 Terdapat bentuk akad lain yang bisa menjadi pilihan dalam melakukan pembiayaan perumahan secara syariah, yaitu akad Ijarah Muntahia Bittamlik(IMBT). Akad ini merupakan akad sewa (Ijarah) dari suatu aset riil, yaitu pembeli rumah menyewa rumah yang telah dibeli oleh bank, dan diakhiri dengan perpindahan kepemilikan dari bank kepada pembeli rumah. Di dalam akad IMBT ini terdapat dua buah akad, yaitu akad Jual-Beli (Al-Bai’), dan akad IMBT sendiri, yang merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan di akhir masa sewa.Secara bahasa, IMBT memiliki arti dengan memecah dua kata di dalamnya. Pertama adalah kata al-ijaarah, yang berarti upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Dan kata kedua adalah  kata at-tamliik, secara bahasa memliki makna yang dapat menjadikan orang lain untuk memiliki sesuatu. Sedangkan menurut istilah, at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan imbalan atau tidak.   Akad ini dikenal dengan nama lain, yaitu Ijarah Wa Iqtinah, yaitu rumah yang disewa telah disepakati di awal akan dibeli pada akhir masa sewa. Pembayaran yang dilakukan setiap bulan adalah biaya sewa rumah tersebut yang ditambah dengan harga rumah yang telah dibagi jangka waktu sewa yang disepakati. Harga rumah tersebut diperoleh dari harga beli rumah dari bank kepada si penjual rumah, dikurangi uang muka yang telah dibayar oleh pembeli rumah. Setelah jangka waktu sewa yang disepakati selesai, bank harus melakukan transfer kepemilikan rumah kepada pembeli

III.1.2 Perhitungan
 Perhitungan dari skema IMBT ini dapat djelaskan melalui contoh berikut.  Misalkan ada seseorang yang hendak menjual rumah seharga Rp500.000.000. Dan ada seorang pembeli B yang ingin membeli rumah tersebut dengan meminta bantuan Bank A memberikan pembiayaan, maka bank A dapat menawarkan kepada pembeli B untuk bekerja sama dengan akad IMBT. Kontrak pertama yang dilakukan adalah:
 1) Bank A membeli rumah si penjual  dengan harga Rp500.000.000
2) Bank A menyewakan rumahnya kepada pembeli B. dengan harga sewa sebesar Rp 5.000.000 per bulan selama 10 tahun (120 bulan), maka pembeli B akan mengeluarkan uang sewa sampai 10 tahun adalah sebesar Rp 5.000.000 dikali dengan 120 bulan, adalah sebesar Rp 600.000.000.
3) Di akhir masa sewa, Bank A menjual rumah yang telah dimilikinya kepada pembeli B dengan harga Rp100.000.000 ( selisih total harga sewa selama 10 tahun ).Dengan demikian maka kepemilikan rumah beralih kepada pembeli B.

 III.1.3 Permasalahan

 Dalam skema ini dapat kita jumpai masalah yang akan timbul apabila pembeli B tidak dapat melakukan pembelian rumah sebelum jangka waktu berakhir. Karena apabila pembelian rumah dilakukan sebelum masa sewa berakhir, maka Bank A akan mengalami kerugian, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari pada uang yang sudah dikeluarkan pada saat membeli rumah. Kecuali pada saat pembelian dilakukan sebelum masa sewa berakhir, pembeli B tetap melunasi biaya sewa-menyewa. Namun, solusi ini pun merugikan pembeli B sehingga perlu dijelaskan di dalam kontrak yang dijelaskan suatu skenario perhitungan apabila pembeli B melakukan pembelian rumah yang dimiliki bank A lebih cepat dari jangka waktu sewa yang disepakati.Dari sisi keuangan, akad IMBT ini secara relatif cenderung memiliki potensi yang merugikan salah satu pihak. Bank memiliki kemungkinan kerugian yang lebih besar dari pada konsumen. Harga sewa akan cenderung mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu. Namun, harga sewa dalam akad IMBT ini sudah disepakati secara tetap di awal transaksi.Dari sisi harga, harga jual pada saat akhir periode sewa yang sudah ditentukan di awal pun berpotensi memiliki perbedaan prediksi, yaitu harga jual yang disepakati lebih kecil dari pada harga pasar. Hal ini pun dapat merugikan bank penerbit pembiayaan akad IMBT ini. III.2. Musyarakah Mutanaqishah III.2.1 Definisi Akad ini merupakan suatu bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk memiliki rumah, dengan membagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan proporsi awal investasi, pada saat akad Musyarakah dilakukan.Namun, akad Musyarakah tidaklah cukup untuk diterapkan ke dalam produk pembiayaan rumah. Akad Musyarakah Mutanaqisah (MM) adalah akad yang terbentuk karena adanya kerja sama antara bank dan pembeli rumah yang berbagi hak kepemilikan akan sebuah rumah yang diikuti dengan pembayaran kepemilikan setiap bulannya dan perpindahan kepemilikan sesuai dengan proporsi yang sudah dibayarkan. Dengan demikian, akad MM ini dikatakan sebagai sebuah akad dengan konsep kemitraan berkurang.Mayoritas ulama Islam setuju dengan akad Musyarakah Mutanaqisah ini.   III.2.2. Skema Pembiayaan Skema pembiayaan untuk akad ini berupa kemitraan antara bank dan konsumen yang sama-sama memiliki kepemilikan di dalam rumah yang ingin dimiliki oleh konsumen. Tahapan dari skema yang digambarkan di atas adalah sebagai berikut 1. Konsumen melakukan identifikasi serta memilih rumah yang diinginkan. 2. Konsumen bersama dengan bank melakukan kerja sama kemitraan kepemilikan rumah sehingga bank dan konsumen sama-sama memiliki rumah sesuai dengan proporsi investasi yang dikeluarkan. 3. Konsumen membayar biaya sewa per bulan dan dibayarkan ke bank sesuai dengan proporsi kepemilikan. 4. Konsumen pun melakukan pembayaran kepada bank atas kepemilikan rumah yang masih dimiliki oleh bank     Dari tahapan tersebut terdapat dua kontrak perjanjian yang harus dilakukan agar akad MM ini dapat berjalan. Perjanjian pertama adalah Perjanjian kemitraan antara bank dengan konsumen, untuk bersama memiliki sebuah rumah. Dan secara bertahap, konsumen akan membayarkan sejumlah dana yang disepakati untuk membeli status kepemilikan rumah yang  dimiliki bank. Perjanjian yang kedua adalah Perjanjian sewa-menyewa (Ijarah), yaitu konsumen membayar biaya sewa setiap bulannya kepada pemilik rumah. Karena pemilik rumahnya adalah bank dan konsumen, maka uang sewa tersebut harus dibagi sesuai dengan proporsi kepemilikan rumah tersebut. Dan aktivitas ini dilakukan sampai konsumen memiliki proporsi kepemilikan sebesar 100%   III.2.3 Perhitungan Perhitungan skema di atas  dapat digambarkan dalam contoh berikut.  Misalkan penjual rumah hendak menjual rumahnya seharga Rp100.000.000. Ada seorang pembeli B yang ingin membeli rumah tersebut dengan mengajak Bank A untuk bermitra melalui akad MM.Maka kontrak pertama yang dilakukan adalah Bank A harus mengadakan perjanjian kemitraan (Musyarakah) dengan pembeli B untuk membeli rumah. Misalkan Bank A membeli rumah dengan harga Rp80.000.000 dan pembeli B membayar rumah tersebut seharga Rp20.000.000. Maka proporsi kepemilikan rumah tersebut adalah 80% Bank A, dan 20% adalah konsumen. Setiap bulannya, pembeli B akan melakukan pembelian kepemilikan dari Bank A sebesar Rp.500.000. Kontrak yang berikutnya adalah kontrak Ijarah antara Bank A dengan pembeli B, yaitu pembeli B melakukan pembayaran sewa kepada Bank A setiap bulannya, misalkan sejumlah Rp500.000. Dari Rp500.000 ini akan dibagi berdasarkan proporsi kepemilikan.   Jika proporsi Bank A 80%, maka dari uang sewa yang pertama, bank akan mendapat upah sewa sebesar Rp400.000  Konsumen akan mendapat Rp100.000, dengan proporsi kepemilikan hanya 20%. Pada akad MM ini, arus pembayaran perlu diamati secara cermat karena akad ini dapat dikatakan sebagai akad yang sangat rinci dalam perhitungan arus kasnya. Berikut adalah tabel arus kas masuk, sewa, dan perubahan kepemilikannya. ___________________________________________________ IV. REKOMENDASI DAN KESIMPULAN Dalam perbandingan  kedua skema akad  untuk produk pembiayaan rumah Syariah ini, disajikan dua pilihan skema yang dapat dijadikan pilihan untuk mengembangkan inovasi produk perbankan syariah di Indonesia. Mengingat kebutuhan masyarakat semakin tinggi terhadap sebuah produk, maka produk yang kompetitif dari sisi harga, dan banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh konsumen, menjadi suatu hal yang tidak  dapat dielakan . Dalam  hal I ini skema IMBT dan MM memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan masing-masing. Perbedaan ini dapat disesuaikan dengan karakteristik pasar dan kesiapan lembaga penerbit produk pembiayaan rumah syariah dalam mengatasi resiko yang mungkin terjadi. Secara konsep, keempat akad tersebut masih dapat digali lebih dalam. Terutama yang berkaitan dengan aspek hukum dan aspek keuangan yang berujung kepada manajemen resiko. Dari sisi aspek hukum, perlu dipertegas antara hak dan kewajiban antara bank dengan konsumen. Potensi “dispute” ketika pembiayaan ini sudah berjalan perlu diantisipasi  dalam perjanjian-perjanjian yang terdapat di dalam skema yang disepakati. Dari sisi resiko, aspek keuangan internal lembaga keuangan penerbit dan analisa pasar menjadi hal yang saling berkaitan. Kemungkinan gagal bayar oleh konsumen menjadi salah satu potensi resiko yang dapat terjadi sehingga analisa resiko setiap skema beserta manajemen resikonya sangatlah penting untuk digali lebih dalam lagi.Kemudian yang terakhir adalah, analisa pasar perlu dilakukan oleh lembaga penerbit pembiayaan syariah sebelum menentukan skema yang tepat. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan lembaga keuangan syariah dalam memasarkan produk pembiayaan syariah yang sesuai dengan karakteristik pasar _____________________________________________________ V. DAFTAR PUSTAK   http://www.rumah123.com/ (Tanggal akses 29 Maret 2010)   Haris, Helmi. Pembiayaan Kepemilikan Rumah: Sebuah Inovasi Pembiayaan Perbankan Syariah.   Jurnal Ekonomi Islam Lariba. Vol 1, No 1, Juli, 2007.   Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Rajagrafindo Persada. Edisi Ketiga. 2006.   Meera, Ahamed Kameel Mydin and Dzuljastri Abdul Razak. Home Financing through the Musharakah Mutanaqisah Contracts: Some Practical Issues. International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur. 2005.   Musyaiqih, Syaikh Kholid bin Ali. Al Ijarah al Muntahia bit Tamlik. Zaid bid Tsabit Center. Terjemahan Eko Mas Muri. 2009. Direktori-islam.com (tanggal akses 28 Maret 2010)   Nor, Noreeta Mohd. Musharakah Mutanaqisah as an Islamic Financing Alternative to BBA. MIF Monthly Magazine. September 2008 Edition. Malaysia. 2008.   Rosly, Saiful Azhar. Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets. Dinamas Publishing. Kuala Lumpur. 2007.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DENDA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH, HARUSKAH?

Statistik

PRINSIP-PRINSIP DASAR AKUNTANSI KONVENSIONAL DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR AKUNTANSI ISLAM DALAM RUMUSAN TEORI DAN PRAKTEK AKUNTANSI ISLAM