DENDA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH, HARUSKAH?


Sebagian pihak menilai bahwa denda karena keterlambatan membayar adalah riba, sehingga dilarang LKS mengenakan denda atas keterlambatan pembayaran hutangnya.

Maka, marilah kita rujuk dan mencari dasar dalam menetapkan sanksi bagi nasabah mampu yang sengaja menunda pembayaran kewajibannya adalah:

وعن عمرو بن الشريد، عن أبيه -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-»  لي الواجد يحل عرضه وعقوبته. «  

 

Artinya: dari Amru Ibn Asy-Syuraid, dari ayahnya, ia berkata, telah bersabda Rasul SAW: “Orang kaya yang menunda membayar hutang, maka menjadi halal kehormatan dan hukuman atas dirinya” (HR An-Nasa’I , Kitab Al-Buyu’ No. 4689; Abu Dawud, Kitab Al-Uqdhiyah No. 3628; Ibn Majah, Kitab Al-Ahkam No. 2427; Imam Bukhari menjadikannya sebagai ta’liq’ dan Ibn Hibban menilainya sahih)

Imam Ibn Al-Mubarak berkata:

‏ ‏يحل عرضه )يغلظ له( وعقوبته )يحبس له( ‏

Artinya: menjadi halal kehormatan (bersikap keras/tegas kepadanya), dan menjadi halal kehormatannya (ia ditahan dipenjara)

 

Pendapat Para Ulama Tentang Hukuman Fisik Atas Penundaan Pembayaran Hutang

1)     Penulis Kitab Aunul Ma’bud:

وَالْمَعْنَى إِذَا مَطَلَ الْغَنِيّ عَنْ قَضَاء دَيْنه يُحِلّ لِلدَّائِنِ أَنْ يُغَلِّظ الْقَوْل عَلَيْهِ وَيُشَدِّد فِي هَتْك عِرْضه وَحُرْمَته , وَكَذَا لِلْقَاضِي التَّغْلِيظ عَلَيْهِ وَحَبْسه تَأْدِيبًا لَهُ لِأَنَّهُ ظَالِم وَالظُّلْم حَرَام وَإِنْ قَلَّ

Artinya: “Pengertian orang kaya yang menunda pembayaran hutangnya, sehingga menjadi halal bagi pemberi hutang (kreditor) untuk berkata tegas dan bersikap keras hingga mematahkan kehormatan dan harga dirinya. Demikian bagi hakim (dalam mahkamah syariah) dapat bersikap tegas/keras pada orang kaya yang menunda membayar hutang, dan menahannya dipenjara sebagai pelajaran karena ia telah berbuat dzalim, sedangkan perbuatan dzalim adalah diharamkan walaupun hanya sedikit‏. “ (vide: Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Bab لي الواجد يحل عرضه وعقوبته)

 

2)     Imam Al-Khatabii:

فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّ الْمُعْسِر لَا حَبْس عَلَيْهِ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَبَاحَ حَبْسه إِذَا كَانَ وَاجِدًا , وَالْمُعْدِم غَيْر وَاجِد فَلَا حَبْس عَلَيْهِ .

Artinya: “Hadis ini merupakan dalil bagi orang yang kesulitan untuk membayar hutang tidak boleh ditahan dipenjara, karena kebolehan untuk menahan di penjara hanya bagi orang kaya yang mampu tapi menunda pembayaran hutang. Orang yang tidak punya (Al-Mu’dim) maka tidak boleh ditahan dipenjara”. Para Ulama berbeda pendapat terkait dengan hal ini.

3)     Imam Syuraih:

فَكَانَ شُرَيْح يَرَى حَبْس الْمَلِيّ وَالْمُعْدِم

Artinya: “orang kaya yang mampu dan orang yang tidak mampu yang menunda pembayaran hutang tetap dapat dipenjara”. Ini adalah pendapat Ashhabul Ra’yi

4)     Imam Malik:
 

وَقَالَ مَالِك : لَا حَبْس عَلَى مُعْسِر إِنَّمَا حَظّه الْإِنْظَار .

Artinya: “Tidak ada penahanan bagi orang yang kesulitan untuk membayar hutangnya, dimana hendaknya ia mendapat jangka waktu tambahan (tangguh) untuk membayar hutangnya”.

 
5)     Imam Asy-Syafi’I:
 

أَنَّ مَنْ كَانَ ظَاهِرُ حَالِهِ الْعُسْر فَلَا يُحْبَس , وَمَنْ كَانَ ظَاهِره الْيَسَر حُبِسَ إِذَا اِمْتَنَعَ مِنْ أَدَاء الْحَقّ .

 

Artinya: “Barangsiapa yang secara dhahir tidak mampu membayar hutangnya, maka ia tidak ditahan dipenjara, tapi barangsiapa yang dhahirnya memiliki kemudahan untuk membayar hutangnya, lalu ia menunda pembayarannya, maka ia ditahan karena menolak untuk menunaikan hak (pemberi hutang/kreditor)”.

(vide: Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Bab لي الواجد يحل عرضه وعقوبته)

 

Orang yang menunda membayar hutang dapat menjadikan dirinya sebagai orang yang fasiq, seperti penjelasan ulama berikut:

ذهب بعض العلماء إلى أنه يفسق بالامتناع لأول مرة، ويكون فاسقا، وقال آخرون: لا يفسق حتى يتكرر منه الامتناع؛ لأن هذا ظلم في منع أهل الحقوق حقوقهم

Artinya: “Sebagian Ulama menilai orang kaya yang menunda membayar hutangnya sekali saja maka ia menjadi fasiq. Ulama lain berpendapat: orang kaya yang menunda membayar hutangnya tidak menjadi fasiq, hingga ia berulang kali menolak untuk membayar hutannya, karena ini merupakan kedzaliman karena mencegah orang yang berhak (pemberi hutang/kreditur) dari hak-haknya”.

(Vide: http://www.taimiah.org/index.)

 

Pendapat Sebagian Ulama Tentang Kebolehan Hukuman Berupa Denda Materi

 

وهو قول أبي يوسف، وأحد قولي الأحناف، وهو قول الشافعي في القديم، وقول عند المالكية وأحمد في مواضع مخصوصة من مذهبيهما. ونصره تقي الدين ابن تيمية، وتلميذه ابن القيم . وعزاه أبو رخية لإسحاق بن راهويه وقال: وقال به نفر من المحدثين. وعزا الخطابي للحسن البصري، والأوزاعي وأحمد وإسحاق القول بعقوبة الغال في ماله. وعزاه الأخميمي ، وكذا الشوكاني في النيل للإمام يحيى والهادوية من الزيدية.

Artinya : “Ini adalah pendapat Abi Yusuf, salah satu pendapat Ulama Hanifiyah, pendapat Imam Asy-Syafi’i yang terdahulu (qaul qadim), pemdapat ulama malikiyah, Imam Ahmad. Pendapat ini didukung oleh Imam Taqiyudin Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Al-Qayyim. Imam Abu Rakhiyah (vide: majalah Asy-Syari’ah jilid 4/hal. 195) menisbahkan kepada Ishaq Ibn Rahawaih, ia berkata: ini adalah pendapat sebagian ulama hadis. Al-Khatabi menisbahkan kepada Hasan Al-Bashri, Al-Auzai, Ahmad dan ishaq tentang kebolehan hukuman atas harta orang yang menunda membayar hutang”. (vide: Ma’alim As-Sunan, jilid 2/hal. 260. Dan menisbahkan kepada Al-Akhmiimii (vide: Fashl Al-Aqwal hal. 28). Demikian pendapat Imam Asy-Syaukani dalam Nail Al-Awthar kepada Yahya dan Al-Hadawiyah dari Madzhab Zaidiyah (Vide: Nail Al-Awthar, jilid 4/hal. 180).

a) Imam Al-Khatabii:

قال الخطابي في معالم السنن (2/260): أما تأديبه عقوبة في نفسه على سوء فعله فلا أعلم من أهل العلم فيه خلافاً ؛ وأما عقوبته في ماله فقد اختلف العلماء في ذلك ،

Artinya: “adapun hukuman atas diri orang yang bersalah karena perbuatannya yang buruk, maka tidak ada perbedaan dikalangan ulama. Adapun hukuman atas harta terdapat perbedaan pendapat ulama atas hal ini”.

 

b) Imam Hasan Al-Bashri:

 

يحرق من ماله إلا أن يكون حيواناً أو مصحفاً،

 

Artinya: “hartanya dibakar, kecuali hewan dan mushhaf al-qur’an” 

c) Imam Al-Awzai:

وقال الأوزاعي : يحرق متاعه وكذلك قال أحمد وإسحاق قالوا: ولا يحرق ما غل لأن حق الغانمين يرد عليهم ، فإن استهلكه غرم قيمته

 

Artinya: Dibakar hartanya, demikian pendapat Ahmad dan Ishaq, mereka berpendapat bahwa tidak dibakar harta karena sesuatu yang tidak disengaja, karena hak-hak penerima harta ghanimah dikembalikan kepada mereka , jika ia menghilangkannya maka ia berhutang atas sebesar barang yang hilang.”

(Vide: Ma’alim As-Sunan, jilid 2/hal. 260)

 

d) Imam Az-Zailai:

 

(وعن أبي يوسف أن التعزير بأخذ الأموال جائز للإمام)

 

Artinya: “Dari Abu Yusuf, bahwa hukuman/denda dengan mengambil harta adalah boleh menurut Imam Abu Hanifah.”(Vide: Tabyin Al-Haqaiq, Az-Zailai, jilid 3/hal. 208)

 

e) Imam Alaudin Ath-Tharablusi:

 

(يجوز التعزير بأخذ المال وهو مذهب أبي يوسف وبه قال مالك).

 

Artinya: ”boleh memberikan hukuman/denda dengan mengambil harta. Ini adalah madzhab Abu Yusuf dan Imam Malik.” (Vide: Mu’ayan Al-Ahkam, hal. 195)

 

 

f) Syeikhul Islam Ibn Taimiyah:

 

(والتعزير بالمال سائغ إتلافا وأخذا وهو جار على أصل أحمد لأنه لم يختلف أصحابه أن العقوبات في الأموال غير منسوخة كلها وقول الشيخ أبي محمد المقدسي ولا يجوز أخذ مال المعزر فإشارة منه إلى ما يفعله الولاة الظلمة).

Artinya: “Hukuman/denda dengan harta baik dengan cara meleyapkan atau mengambil adalah sesuai dengan pokok madzhab Imam Ahmad, karenanya tidak satupun sahabat beliau yang berbeda pendapat tentang sanksi dalam harta yang tidak dihapus seluruhnya. Syeikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpendapat tidak boleh mengambil harta orang yang memiliki udzur, sambil memberi isyarat atas perlakuan para penguasa yang dzalim.” (Vide: Al-Ikhtiyarat Al-Ilmiyah, Fatawaa Al-Kubraa jilid 5/hal. 530)

 

g) Syeikul Islam Ibnul Qayyim

 

 (وأما التعزير بالعقوبات المالية فمشروع أيضا في مواضع مخصوصة في مذهب مالك وأحمد , وأحد قولي الشافعي, وقد جاءت السنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وعن أصحابه بذلك في مواضع... )

 

Artinya: “Adapun Hukuman/denda dengan sanksi atas harta adalah ditetapkan syariat dalam beberapa tempat khusus dalam madzhab Imam Malik dan Ahmad, salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’I, terdapat keterangan dari sunnah Rasul SAW dan sahabatnya tentang hal ini dalam beberapa bagian dari madzhabnya” (Vide: Ath-Thuruq Al-Hukmiyah, hal 224-228)

 

BEDA MENGAMBIL RIBA DAN MEMAKAN RIBA

Dalil-dalil syara’ dari kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam secara tegas telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya. Allah SWT  berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [Surat Al Baqarah (2): 275].

Dalam hadis-hadis sahih, Nabi Muhammad SAW menegaskan tentang keharaman riba, seperti sabda beliau SAW berikut:

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا: يا رسول الله، وما هن ؟ قال: الشرك، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

Artinya: “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan yang menjaga kesuciannya (muhsonat) yang tidak tahu menahu tentang urusan ini (ghafilaat) dan beriman kepada Allah (mukminat).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

Artinya: “Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”.(HR Muslim III: 1219 no: 1598 dan Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090).

Celaan dalam nash syara diatas hanya diberikan kepada pemakan riba (أكل) dan pihak yang terkait langsung dimana proses memakan riba adalah mengambil (أخذ) dan memakan (أكل) harta yang diperoleh dari transaksi riba. Walhasil mengambil harta yang diperoleh dari transaksi ribawi tapi tidak dimakan atau dimasukkan dalam pendapatan tidak termasuk dalam celaan nash diatas.
 

Sesuai fatwa DSN MUI tentang denda (ta’zir) bagi nasabah mampu yang sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya sebagai bentuk pembelajaran (ta’dib) untuk tertib membayar kewajiban, maka bank syariah wajib melakukan verifikasi terlebih dahulu atas keterlambatan nasabah tersebut dalam membayar kewajibannya. Dalam hal terbukti nasabah yang menunda pembayaran kewajiabnnya adalah nasabah yang mampu, maka Bank Syariah diperkenankan untuk menetapkan sanksi materi (ta’zir) (mengambil) namun tidak dimasukkan dalam pendapatan dan pencatatan bank (tidak dimakan), dan wajib diberikan untuk kegiatan sosial.

 

 

Sanksi Bagi Orang yang Tidak Mampu Membayar Kewajiban Hutangnya (Debitur yang Bangkrut)
 

Para Ulama memperbolehkan untuk menahan barang seseorang yang kesulitan untuk membayar hutangnya (hajru mal al-muflis):

إذا تأخر المشتري في الدفع و هو موسر : ذهب العلماء إلى جواز حبسه بحكم القاضي و بشروط معينة لقوله عليه السلام:

Artinya: “ Jika pembeli mengakhirkan pembayaran cicilan barang yang dibeli secara kredit karena kesulitan keuangan, maka sebagian Ulama memperbolehkan untuk menahan barang miliknya dengan keputusan Hakim dan dengan syarat tertentu seperti hadis Nabi SAW:

" لي الواجد يحل عرضه وعقوبته”

Artinya: “Orang kaya yang menunda membayar hutang, maka menjadi halal kehormatannya dan layak mendapat hukuman” (HR. Ibn Majah No. 2427). Imam Ibn Majah ketika membuat komentar atas hadis ini dalam Kitab Sunannya - Kitab Ash-Shadaqah, menyebut tentang kebolehan menahan barang karena sebab hutang dan kewajiban yang tidak terbayar (Bab Al-Habs Bi Ad-Duyun Wal Mulazamat) (Vide: Shabah Ibrahim Abu As-Sayyid, Ahkam Bai Al-Taqsith Fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Hal. 49, penerbit Jami’ah Al-Quds Al-Maftuhah – Palestina, Tahun 2008 M)
 

Walhasil, kebolehan untuk menetapkan denda (ta’zir) atas harta adalah pendapat sebagian ulama salaf ash-shalih. Memang terdapat sebagian ulama yang melarang denda atas harta, tapi pendapat yang paling kuat adalah kebolehan menetapkan denda (ta’zir) berupa sanksi materi atas tindakan kriminal dan kedzaliman, termasuk didalamnya sanksi bagi orang kaya yang menunda pembayaran hutang.

Bank Sentral (al-bank al-markazi) telah menetapkan aturan dimana nasabah yang menunda membayar kewajibannya, maka status pembiayaan nasabah tersebut akan  diturunkan dari pembiayaan lancar menjadi pembiayaan dalam perhatian khusus (DPK), sebagai konsekuensinya bank syariah diwajibkan untuk membentuk cadangan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Dana PPAP ini berasal dari dana milik bank syariah, sehingga bank syariah mengalami potensi kerugian finansial akibat penundaan ini. Atas dasar inilah, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia Pusat (DSN – MUI) mengeluarkan fatwa tentang kebolehan ta’zir/ta’widh atas penundaan pembayaran hutang sebagai kompensasi atas potensi kerugian finansial tersebut.

Misal, denda atas penundaan pembayaran kewajiban nasabah yang mampu termasuk tambahan atas hutang, sehingga dapat dikategorikan sebagai riba yang dilarang, maka Fatwa DSN MUI menegaskan dana denda merupakan pendapatan non halal yang tidak dapat dimasukkan dalam pendapatan bank dan wajib digunakan untuk dana sosial.Denda ini dikenakan dalam rangka mendisplinkan nasabah (li at-ta’dib) dalam menyelesaikan kewajibannya.

 

Penggunaan Dana Denda Materi (Ta’zir) Untuk Dana Sosial & Kebajikan

Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah – kerajaan Saudi Arabia:

) ويوضع مال التعزير حيث يرى الحكمان شرعًا في بيت المال أو في وجه من وجوه البر والمعروف)
 

Artinya: “Ada dua ketentuan hukum syara’ terkait dengan harta yang diperoleh dari denda (takzir), yaitu dapat diletakkan di baitul mal atau digunakan untuk dana sosial dan kebajikan” (Vide: Fatwa Lajnah Daiman Lil Buhuts Al-Ilmiyah – Kerajaan Saudi Arabia, Jilid 1/hal. 225)

 
Sesuai dengan fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah – kerajaan Saudi Arabia, maka dana yang diperoleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dari sanksi berupa materi termasuk denda keterlambatan pemabayaran hutang, dapat digunakan untuk kepentingan sosial dan kebajikan, serta tidak diperkenankan diakui sebagai bagian dari keuntungan bank. Wallahu a'lam bi shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Statistik

PRINSIP-PRINSIP DASAR AKUNTANSI KONVENSIONAL DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR AKUNTANSI ISLAM DALAM RUMUSAN TEORI DAN PRAKTEK AKUNTANSI ISLAM